TERDIDIK TAPI MENGANGGUR
Berbicara mengenai masalah yang diangkat oleh editorial media Indonesia ini maka lebih sederhananya kita akan melihat ada dua sisi yang diangkat yaitu pihak pencari kerja dan lapangan kerja (penyedia pekerjaan). Jika dilihat lebih dalam lagi maka kita dapat melihat bahwa ada dua sistem yang lebih sederhana yaitu masalah permintaan dan penawaran dimana pihak pencari kerja dapat kita misalkan sebagai permintaan dan pihak lapangan kerja dimisalkan sebagai penawaran. Bidang keilmuan yang sangat terkenal atas masalah permintaan dan penawaran ini adalah bidang ekonomi. Ilmu ekonomi sangat terkenal adanya hubungan interaksi antara permintaan dan penawaran. Dimana setelah melalui proses penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara permintaan dan penawaran suatu barang, didapatkan kesimpulan bahwa di dunia ini, jumlah permintaan jumlahnya akan selalu lebih besar dari jumlah penawaran. Hal inilah yang sebenarnya akan berefek munculnya suatu “harga” pada suatu barang yang ditransaksikan di pasar.
Kasus ini akan menjadi sangat mirip jika kita kembalikan ke kasus antara pencari pekerjaan yang jumlahnya sangat lebih besar dibandingkan lapangan kerja yang tersedia. Hal tersebut yang tentunya akan membuat munculnya suatu “harga” dari kualitas yang diberikan oleh si pencari pekerjaan dan pada akhirnya hal ini adalah suatu fenomena yang lumrah terjadi atau dapat dikatakan harus terjadi di dunia ini. Dapat kita bayangkan ketika jumlah lapangan pekerjaan jumlahnya lebih banyak dibandingkan pencari pekerjaan. Tentunya kualitas dan harga ini nilainya akan menjadi rendah. Pemikiran seperti ini tentunya hanya secara teoritis. Pertanyaan yang akan muncul ketika melihat realita adalah “Apakah memang harus ada yang menganggur?”. Jika kita menggabungkan dari sisi realita dan teori yang ada walaupun memang sedikit miris, jawabannya adalah harus ada dikarenakan dengan adanya hal ini maka diharapkan kualitas dari sisi pencari pekerjaan akan terus meningkat dengan adanya persaingan. Namun jika kita mempertimbangkan kembali efek yang terjadi akan adanya pengangguran seperti masalah social yang muncul, pemborosan APBN negara,dll maka cara yang dapat dilakukan adalah meminimalisasi pengangguran.
Pada editorial Media Indonesia dituliskan juga bahwa saat ini perguruan tinggi sibuk menyiapkan lulusannya dengan pengetahuan teoritis dan keterampilan spesifik dari disipilin dari disiplin ilmunya masing-masing namun hal-hal yang bersifat soft skills SANGAT KURANG diberikan kepada mahasiswanya. Mari kita lihat lingkup ITB. Kita lihat apa yang telah dipersiapkan ITB dalam mempersiapkan mahasiswanya selain skill keilmuan yang tentunya sudah tidak diragukan lagi kualitasnya. Pihak ITB mengaku telah banyak menyiapkan bekal soft skills (contoh acara: Strategi Sukses di Kampus untuk mahasiswa baru, Pengenalan Teknologi Informasi, Pelatihan Kepemimpinan) untuk para mahasiswanya tetapi yang mungkin tidak dilakukan selama ini adalah mengevaluasi kegiatan yang dilakukan secara utuh. Pelatihan kepemimpinan yang dilakukan oleh ITB tiap tahunnya hanya diikuti oleh sekitar 100-an mahasiswa. Berapa Jumlah mahasiswa ITB setiap tahunnya? 3000an mahasiswa! . Lalu akan dikemanakan sisa 2900 mahasiswa yang lainnya? .
Pihak ITB juga menyediakan terselenggaranya kegiatan kemahasiswaan seperti himpunan dan unit. Menurut penulis dua kegiatan inilah yang sebenarnya sangat mengasah sofskills para mahasiswanya. Penulis pun sebenarnya bisa menulis dan menuangkan pemikirannya seperti ini dikarenakan mendapatkan pengalaman yang telah didapatkan di himpunan. Namun lagi-lagi apakah hal ini telah dievaluasi oleh pihak ITB? Menurut data yang ada mahasiswa yang mengikuti kegiatan di unit pada saat tingkat pertama jumlahnya semakin mengecil dari tahun ke tahun. Padahal unit memegang peranan penting untuk mengayomi softskills mahasiswa tingkat pertama yang belum dapat tersentuh oleh himpunan di jurusan akibat dari sistem fakultas yang diberlakukan. Pada tingkat selanjutnya pun ketika himpunan memegang peranan untuk membentuk softskills para mahasiswanya, banyak hambatan-hambatan dari pihak rektorat sendiri (sulitnya perizinan, birokrasi yang berbelit belit dimana pada saat ini terdapat UPT K3L yang terkesan berkuasa atas semua perizinan kegiatan,dll).
Hal ini pada akhirnya akan berefek pada rasa malas dan lelah dari pihak mahasiswa atas semua hambatan-hambatan ketika ingin melakukan kegiatan kemahasiswaan dan cenderung untuk study oriented dan melakukan kegiatan di luar kampus yang belum tentu ada jaminan bahwa kegiatan yang dilakukan positif. Sebenarnya hal ini dapat diatasi jika adanya keterbukaan antara pihak mahasiswa dan pihak rektorat untuk duduk bersama-sama mendiskusikan masalah ini dan MENINDAK LANJUTI masalah ini. Hal ini mungkin dapat menjadi salah satu bahan evaluasi dari ITB agar dapat mempersiapkan lulusannya lebih baik lagi, mengubah paradigm bahwa mahasiswa ITB di dunia kerja sombong, tidak mau bekerja sama, dan mungkin lebih jauh lagi untuk menghilangkan fenomena yang telah dituliskan pada editorial media Indonesia yaitu mengenai PENGANGGURAN TERDIDIK.
mudah2an nilainya bagus
No comments:
Post a Comment