02 September 2009

ORASI PENERIMAAN MAHASISWA BARU ITB 2009 oleh Dr.Eng.Mikrajuddin Abdullah

Mikrajuddin Abdullah
Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Bandung

Menjadikan Keterbatasan Sebagai Pemicu Kreativitas dan Inovasi dalam Riset Nanosains di Indonesia


Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat Rektor Institut Teknologi Bandung dan para Wakil Rektor ITB.
Yang terhormat Ketua dan Anggota Senat Akademik Institut Teknologi Bandung.
Yang terhormat Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung.
Yang terhormat Ketua dan Anggota Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung.
Yang terhormat hadirin semuanya dan para mahasiswa baru Institut Teknologi Bandung angkatan 2009.
Salam sejahtera bagi kita semuanya.

1. Pendahuluan

Saya merasa sangat tersanjung berdiri di depan para hadirin terhormat untuk memberikan orasi pada upacara penerimaan mahasiswa baru Institut Teknologi Bandung tahun 2009. Ini merupakan salah satu pengalaman luar biasa bagi saya sebagai seorang dosen di institut tercinta ini.

Mungkin orasi yang akan saya sampaikan ini sedikit berbeda dengan orasi-orasi sebelumnya. Orasi ini lebih banyak merupakan paparan sebagian pengalaman saya memulai riset bidang nanosains dari kondisi dengan fasilitas sangat terbatas dan bagaimana mencari alternatif-alternatif ketika menghadapi beberapa keterbatasan itu. Tidak semua hasil riset terbaru yang saya capai hingga saat ini akan saya sampaikan dalam orasi ini. Mudahan-mudahan dari sedikit material yang saya sampaikan ini bisa menjadi pelajaran yang berarti, khususnya bagi para mahasiswa baru ITB yang hadir di ruangan ini. Pesan utama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa di dalam keterbatasan pasti ada jalan keluar, apabila kita jeli, pantang menyerah, dan mau berpikir kritis. Bahwa keterbatasan bisa menjadi pendorong yang kuat untuk kreatif dan inovatif.

2. Apa Itu Nanosains

Saya ingin sampaikan secuil informasi tentang nanosains itu sendiri. Saat ini, perhatian masyarakat dunia banyak tertuju pada bidang riset yang paling bergairah ini. Nanosains adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. Dalam terminologi ilmiah, nano berarti 10^-9 (0,000000001). Satu nanometer adalah seper seribu mikrometer, atau seper satu juta milimeter, atau seper satu miliar meter. Jika panjang pulau Jawa dianggap satu meter maka diameter sebuah kelereng kira-kira sama dengan sepuluh nanometer. Gambar 1 adalah ilustrasi seberapa kecil ukuran nanometer [1].

Yang dapat dikelompokkan dalam skala nanometer adalah ukuran yang lebih kecil dari 100 nm. Orang menyebut nanopartikel jika diameter partikel tersebut kurang dari 100 nanometer. Namun riset nanosains tidak hanya terbatas pada nanopartikel, tetapi lebih luas ke material nanostruktur. Material nanostruktur adalah material yang tersusun atas bagian-bagian kecil, di mana tiap-tiap bagian berukuran kurang dari 100 nanometer, walupun ukuran material secara keseluruhan cukup besar. Tetapi dalam ukuran besar tersebut sifat bagian-bagian kecil harus tetap dipertahankan.


Memasuki tahun 2000, riset material skala nanometer memasuki babak yang paling progresif. Penemuan baru dalam bidang ini muncul hampir dalam tiap minggu dan aplikasi-aplikasi baru mulai tampak dalam berbagai bidang, seperti bidang elektronik (pengembangan piranti (device) ukuran nanometer), energi (pembuatan sel surya yang lebih efisien), kimia (pengembangan katalis yang lebih efisien, baterei yang kualitasnya lebih baik), kedokteran (pengembangan peralatan baru pendeksi sel-sel kanker berdasarkan pada interaksi antar sel kanker dengan partikel berukuran nanometer), kesehatan (pengembangan obat-obat dengan ukuran bulir (grain) beberapa nanometer sehingga dapat melarut dalam cepat dalam tubuh dan bereaksi lebih cepat, serta pengembangan obat pintar (smart) yang bisa mencari sel-sel tumor dalam tubuh dan langsung mematikan sel tersebut tanpa mengganggu sel-sel normal), lingkungan (penggunaan partikel skala nanometer untuk menghancurkan polutan organik di air dan udara), dan sebagainya.

Mengapa reduksi ukuran material dalam skala nanometer menjadi begitu penting? Sifat-sifat material yang meliputi sifat fisis, kimiawi, maupun biologi berubah begitu dramatis ketika dimensi material masuk ke dalam skala nanometer. Yang lebih menarik lagi adalah sifat-sifat tersebut ternyata bergantung ukuran, bentuk, kemurnian permukaan, maupun topologi material. Para ilmuwan percaya bahwa setiap sifat memiliki “skala panjang kritis”. Ketika dimensi material lebih kecil dari panjang kritis tersebut maka sifat-sifat fisis fundamental mulai berubah. Sebagai gambaran, partikel tembaga yang memiliki diameter 6 nm memperlihatkan kekerasan lima kali lebih besar daripada tembaga ukuran besar. Keramik yang umumnya kita kenal mudah pecah dapat dibuat menjadi fleksibel jika ukuran bulir direduksi ke dalam orde nanometer. Cadmium selenida (CdSe) dapat menghasilkan warna yang berbeda-benda dengan hanya mengontrol ukuran partikel, seperti diilustrasikan pada Gbr. 2 [2].


3. Dapatkah Riset Nanosains Dilakukan dengan Fasilitas Terbatas?

Saya akan fokuskan pembicaraan para riset nanosains. Banyak orang mengidentikkan riset dengan dana besar untuk keperluan pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan fasilitas, pembelian bahan-bahan percobaan, dan sebagainya. Ini tidak salah untuk beberapa jenis riset, seperti riset ekperimental atau riset numerik/simulasi yang membutuhkan fasilitas komputasi canggih. Jika berhadapan dengan masalah tersebut, peneliti Indonesia yang secara umum tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai tidak dapat berbuat leluasa seperti yang dilakukan para peneliti di negara maju. Tapi, apakah kita lalu patah semangat? Apakah keterbatasan tersebut menghalangi kita berbuat sesuatu? Apakah tidak ada bidang riset yang dapat dilakukan dengan dana dan fasilitas terbatas?

Riset berbasis eksperimen umumnya membutuhkan dana cukup besar. Riset yang relatif lebih murah dari segi biaya adalah riset teoretik. Namun, untuk terjun ke bidang riset ini umumnya diperlukan kemampuan matematik yang tinggi dan tidak semua orang memiliki kemampuan tersebut. Alternatif yang memungkinkan adalah masuk ke riset teori fenomenologis/empiris. Di sini kita membangun model/teori yang tidak terlampau rumit dari sisi matematika untuk menjelaskan beberapa hasil percobaan. Kita tidak perlu melakukan percobaan itu sendiri. Yang perlu dilakukan adalah mempelajari hasil percobaan peneliti lain yang baru saja diterbitkan di jurnal ilmiah tetapi belum memiliki penjelasan teoretik yang memadai tentang sifat data yang diperoleh. Saya memiliki sejumlah pengalaman dengan pendekatan ini. Beberapa di antaranya saya uraikan di bawah ini.

3.1. Teori Network Nanokristal untuk Silikon Berpori
Pada awal tahun 2000 ada sejumlah data pengamatan sifat kebergantungan konduktivitas listrik silikon berpori sebagai fungsi suhu yang menyimpang dari „kepercayaan? banyak peneliti saat itu yaitu bersifat Arrhenius. Pada suhu rendah, konduktivitas memenuhi sifat Arrhenius, tetapi pada suhu cukup tinggi, konduktivitas menyimpang dari sifat Arrhenius. Setelah mengkaji sejumlah data eksperimen para peneliti, saya menduga bahwa ada mekanisme lain yang berkontribusi pada konduktivitas listrik silikon berpori selain mekanisme „loncatan? (hopping), yaitu mekanisme yang menjadi penyebab munculnya sifat Arrhenius. Setelah diamati dengan teliti, kelakuan yang menyimpang tersebut menyerupai fungsi Vogel-Tamman-Fulcher (VTF).

Saya mencoba membangun teori fenomenologis untuk menjelaskan fenomena tersebut berdasarkan hipotesis sederhana. Mekanisme VTF dijumpai pada network polimer, dan network polimer terbentuk melalui proses gelasi. Dengan demikian, mungkin ada benang merah antara mekanisme dalam network polimer dan mekanisme konduktivitas dalam silikon berpori. Oleh karena itu, untuk membangun teori konduktivitas dalam silikon berpori, saya mengadopsi teori gelasi polimer. Saya memodelkan bahwa silikon berpori sebagai network nanokristal yang terikat satu sama lain, yang serupa dengan network monomer yang membentuk gel polimer (Gbr. 3).


Dengan menggunakan persamaan matematika yang tidak terlampau rumit kami berhasil membangun persamaan konduktivitas dalam silikon berpori yang dapat menjelaskan sifat konduktivitas pada semua jangkauan suhu dan sesuai dengan hasil pengamatan, yaitu bersifat Arrhenius pada suhu rendah dan bersifat VTF pada suhu tinggi. Teori yang kami bangun telah dipublikasikan di Europhysics Letters tahun 2001 [3]. Makalah tersebut menjadi Top 8 makalah yang paling banyak didownload sepanjang tahun 2007 dari semua makalah yang dipublikasikan di Europhysics Letters sejak terbitan pertama hingga terbitan Desember 2007 [4].

3.2. Teori Nanokomposit Perekat Konduktif
Pendekatan yang mirip juga saya lakukan untuk menjelaskan sifat konduktivitas dalam material polimer yang mengandung nanopartikel logam (conductive adhesives). Material ini merupakan pengganti material solder untuk menempelkan integrated circuit (IC) pada printed circuit board (PCB) ketika ukuran kaki IC sangat kecil dan jaraknya sangat rapat (ilustrasi pada Gbr. 4). Kondisi kaki yang demikian kecil dan padat tidak mungkin disambung dengan solder karena ukuran bola timah solder memiliki batas minimum. Terdapat hasil pengamatan yang tidak dapat dijelaskan dengan sempurna oleh para peneliti saat itu.


Selama ini dalam menjelaskan hasil pengamatan, para peneliti selalu mengasumsikan bahwa partikel-partikel logam tersebut memiliki ukuran yang seragam (monodisperse). Namun, saya menurunkan persamaan dengan berangkat dari hipotesis yang cukup sederhana, yaitu partikel-partikel logam memiliki ukuran yang tidak seragam, tetapi memenuhi fungsi distribusi tertentu (Gbr. 5). Saya berkeyakinan bahwa tidak mungkin kita membuat partikel dalam ukuran puluhan hingga ratusan nanometer dengan ukuran yang persis sama. Saya berhasil mendapatkan persamaan umum untuk menjelaskan hasil-hasil pengamatan. Dan yang lebih menarik adalah, persamaan yang saya bangun kembali menjadi sama dengan persamaan yang dibangun para peneliti sebelumnya jika dianggap ukuran partikel adalah seragam.


Hasil ini kami publikasikan di Materials Science in Semiconductor Processing tahun 1999 [5]. Berdasarkan data Scopus (database makalah-makalah yang dipublikasikan secara internasional yang dikelola oleh penerbit terbesar dunia, Elsevier), hingga 30 Juli 2009 makalah tersebut telah dirujuk sebanyak 32 kali oleh para peneliti di seluruh dunia [6]. Sekali lagi, suatu karya yang cukup banyak direfer orang kami hasilkan dengan fasilitas terbatas.

3.3. Teori Hambatan Konstriksi untuk Kontak Nano
Juga pada tahun 1999 saya mengamati ada dua persamaan utama yang menjelaskan fenomena hambatan listrik pada titik kontak antara dua konduktor (Gbr. 6). Jika ukuran permukaan kontak cukup besar maka hambatan kontak berbanding terbalik dengan diameter kontak (hambatan Holm). Sebaliknya, jika ukuran permukaan kontak sangat kecil, khususnya dalam dimensi nanometer, maka hambatan kontak berbanding terbalik dengan kuadrat diameter kontak (hambatan Sharvin). Belum ada satu persamaan yang dapat menjelaskan hambatan kontak secara menyeluruh untuk semua ukuran kontak.


Saya tertarik untuk membangun teori untuk menggabungkan dua persamaan tersebut. Saya hanya berangkat dari persamaan listrik magnet sederhana untuk menjelaskan terbentuknya profil potensial di sekitar lokasi kontak. Akhirnya berhasil didapatkan persamaan hambatan kontak yang berlaku untuk semua ukuran kontak. Hasil tersebut kami publikasikan di Material Science in Semiconductor Processing tahun 1999 [7]. Dan berdasarkan data Scopus 30 Juli 2009, makalah tersebut telah direfer sebanyak 20 kali oleh para peneliti di seluruh dunia [6].

Apa yang diuraikan di atas adalah contoh bahwa riset yang dilakukan dengan modal minim dapat menghasilkan makalah yang cukup baik dan direfer banyak orang. Yang diperlukan di sini adalah keinginan untuk mempelajari referensi-referensi terbaru, melakukan analisis terhadap hasil-hasil eksperimen yang dipublikasikan, serta memikirkan alternatif model/teori yang dapat dibangun untuk menjelaskan data tersebut.

Masih banyak makalah lain yang saya hasilkan dengan menggunakan pendekatan tersebut. Di antaranya adalah penjelasan tentang mekanisme konduktivitas listrik dalam komposit material ionik padatan yang mengandung partikel-partikel isolator [9], konduktivitas listrik dalam polimer elektrolit [9,10], konduktivitas proton dalam es [11], konduktivitas fluida dalam material berpori [12], dan konduktivitas listrik dalam komposit polimer isolator yang mengandung partikel-partikel logam [8,13]. Pendekatan semacam ini sangat cocok diterapkan oleh sejumlah peneliti di tanah air yang masih tetap ingin berkarya meskipun fasilitas pendukung riset masih minim. Sekali lagi, yang menjadi pertanyaan adalah mau atau tidak?

4. Keterbatasan sebagai Pemicu Kreativitas dan Inovasi

Tidak memiliki fasilitas memadai untuk kegiatan riset? Tidak masalah. Jangan terlalu mengeluh dan menyalahkan sana-sini. Mari berkreasi dan berinovasi. Saya juga memiliki banyak pengalaman dengan kasus seperti ini. Beberapa di antaranya saya ilustrasikan di bawah ini dengan harapan bisa menjadi pelajaran yang berharga.

4.1. Sintesis Nanopartikel dengan Metode Sol-Gel
Saat membangun Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial di Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik (KK Fismatel) FMIPA tahun 2005 saya diberi sebuah gudang penyimpanan alat-alat praktikum rusak. Setelah membersihkan ruangan tersebut, yang pertama saya hadapi adalah bagaimana mengisi ruang tersebut sehingga berwujud laboratorium riset. Saat itu saya tidak memiliki dana riset yang cukup. Saya berusaha membangun laboratorium secara mandiri. Saya lengkapi alat-alat dengan menyisihkan dana penelitian yang saya peroleh yang nilainya juga tidak terlampau besar. Sebagian besar peralatan riset saya rancang sendiri.

Saat ini saya cukup bangga bahwa laboratorium yang saya bangun termasuk laboratorium paling aktif di lingkungan FMIPA dan telah menghasilkan sejumlah publikasi internasional dan telah meluluskan puluhan mahasiswa sarjana dan magister.

Alat pertama yang saya beli saat mulai membangun laboratorium adalah kondensor distilasi untuk pembuatan nanopartikel dengan metode sol-gel. Namun, dengan alat ini saja tidak ada yang dapat dilakukan karena kita harus memiliki heater dan stirrer. Stirrer yang dibutuhkan pun haruslah stirrer magnetik. Tidak ada dana yang cukup untuk membeli stirrer magnetik.

Kebetulan saat S3 saya pernah memberbaiki stirrer magnetik yang rusak sehingga mengetahui dengan detail desain dan prinsip kerja stirrer magnetik. Desain stirrer magnetik sebenarnya cukup sederhana. Ada satu lengan yang berputar horisontal di mana di kedua ujungnya dipasang potongan magnetik dengan arah kutub berlawanan. Kalau prinsipnya cuma demikian, harusnya kita dapat membuat sendiri stirrer magnetik dengan biaya yang jauh lebih murah.

Untuk membuat stirrer magnetik saya menggunakan sebuah kipas angin kecil dan sebuah dimmer listrik (alat pengatur terang dan redupnya lampu). Baling-baling kipas angin dibuang lalu pada porosnya dipasang lengan aluminium mendatar. Di kedua ujung lengan aluminium dipasang potongan magnet yang diambil dari penjepit kertas. Arus listrik dari PLN dilewatkan pada dimmer sebelum mengalir ke dalam motor kipas angin. Kegunaan dimmer adalah mengontrol arus atau tegangan yang masuk ke dalam motor kipas angin sehingga kecepatan putar motor dapat diubah-ubah (Gbr. 7). Selanjutnya kita buat casing agar di atas lengan aluminium yang berputar dapat ditempatkan gelas kimia atau flask yang mengandung cairan yang akan dicampur. Stirrer magnetik yang kita buat berfungsi sempurna seperti stirrer yang dijual di pasaran.


Gambar 8 adalah contoh koloid dari nanopartikel seng oksida (ZnO) yang kami buat [14]. Nanopartikel ZnO bersifat luminisens. Warnanya transparan ketika tidak disinari dengan ultraviolet dan berubah menjadi warna biru hingga kekuningan ketika disinari dengan ultraviolet. Nanopartikel ini memiliki aplikasi yang luas untuk pembuatan display, tinta rahasia (untuk mata uang, buku bank, dan dokumen rahasia lainnya) [15], untuk detektor kanker, dan sebagainya.

Tampak bahwa dengan sedikit kreativitas kami bisa mendapatkan stirrer dengan harga sekitar Rp 100.000. Apabila kami beli di pasar, kami harus mengeluarkan uang beberapa juta untuk mendapatkan stirrer magnetik. Rancangan stirrer magnetik yang kami buat telah diduplikasi oleh sejumlah laboratorium di beberapa perguruan tinggi.



4.2. Pembuatan Sel Surya dari Koloid Nanopartikel dengan Metode Dip Coating
Ketika mahasiswa bimbingan saya ingin melakukan penelitian pembuatan sel surya menggunakan koloid nanopartikel, kami kesulitan dengan ketiadaan alat dip coating. Alat ini digunakan untuk menarik substrat yang dicelupkan ke dalam koloid nanopartikel dengan kecepatan sangat lambat; bisa kurang dari 1 cm/jam. Penarikan perlahan-lahan ini menyebabkan nanopartikel menempel rata di substrat membentuk satu lapisan film. Film inilah yang berperan sebagai material aktif sel surya (Gbr. 9).


Saya minta mahasiswa untuk memikirkan peralatan apa saja yang murah; yang penting dapat menarik substrat dengan laju 1 cm/jam. Saat diskusi di laboratorium, kebetulan kami melihat di dinding ada jam yang mati. Eureka!. Kami sudah menemukan alat yang dicari. Sumbu jarum pendek (jarum jam) dari jam dinding berputar satu kali selama satu jam. Keliling sumbu tersebut sekitar 1 cm. Jika sumbu tersebut dililiti benang maka benang tertarik sekitar 1 cm/jam.

Kami akhirnya membeli sebuah jam yang sumbunya cukup bagus untuk dililiti benang. Ujung benang yang lain ditempelkan pada substat yang akan didip coating dalam koloid nanopartikel (Gbr. 10). Dengan peralatan ini kami memperoleh lapisan nanopartikel yang cukup bagus pada substrat.


Mimpi besar kami dengan riset ini adalah bagaimana membuat sel surya secara massal dengan cara yang mudah dan biaya yang sangat rendah. Dengan menggunakan nanopartikel kami bermimpi membuat sel surya hanya dengan metode spray (penyemprotan). Kita dapat membuat sel surya hanya dengan menyemprotkan koloid nanopartikel pada dinding, pada atap, pada beton, atau permukaan apa saja yang dikenai cahaya. Caranya mirip kita mengecat tembok, permukaan kayu atau logam. Kami ingin meninggalkan cara pembuatan sel surya yang sangat mahal yang dilakukan selama ini yang berbasis pada teknologi deposisi.

4.3. Kolektor Nanopartikel dari Tegangan Tinggi DC
Tantangan lain yang kami hadapi di laboratorium adalah bagaimana mengumpulkan nanopartikel yang dibuat dengan metode spray drying dan spray pirolysis. Nanopartikel yang dihasilkan mengalir bersama gas. Untuk mendapatkan nanopartikel tersebut, cara yang dapat dilakukan adalah menggunakan filter. Gas yang mengandung nanopartikel dilewatkan pada filter sehingga nanopartikel tertahan oleh filter. Permasalahan yang timbul adalah, jika ukuran poros filter lebih besar dari ukuran partikel maka hanya sedikit partikel yang tersaring. Kebanyakan nanopartikel lolos bersama gas. Sebaliknya, jika ukuran poros filter lebih kecil daripada nanopartikel maka filter dapat menyumbat aliran gas.

Cara yang lebih efisien adalah menggunakan tegangan tinggi dari listrik DC (di atas 10.000 volt). Tegangan tersebut dipasang pada dua elektroda. Ketika gas yang mengandung nanopartikel melewati satu elektroda maka nanopartikel menjadi bermuatan listrik. Dan ketika melewati elektroda lainnya, nanopartikel menempel pada elektroda kedua tersebut. Prinsip ini digunakan pada proses pembersihan asap yang keluar dari cerobong pabrik sehingga gas buang mengandung partikel dalam jumlah seminimal mungkin. Persoalan yang kami hadapi muncul ketika harus membeli sumber tegangan tinggi DC, karena tidak memiliki dana yang cukup.

Setelah memikirkan sejumlah alternatif, kami sampai pada transformator fly back CRT (monitor TV atau komputer). Pada CRT tersebut diberikan tegangan tinggi DC untuk nenembakkan elektron ke arah layar sehingga terbentuk gambar. Kami membeli satu set rangkaian TV beserta transformator fly back dan mengambil output yang dihubungkan ke tabung TV (Gbr. 11). Hasilnya cukup bagus. Kita dapat memperoleh tegangan DC lebih dari 10.000 volt, lebih dari yang dibutuhkan untuk mengumpulkan nanopartikel.

Apa yang dijelaskan di sini adalah, dengan memahami prinsip kerja suatu alat maka kita dapat memikirkan alternatif lain pengganti alat tersebut yang harganya jauh lebih murah, tetapi bekerja sesuai dengan alat yang asli. Untuk sumber tegangan tinggi DC yang dijual di pasar kita perlu mengeluarkan uang beberapa juta rupiah. Tetapi dengan memanfaatkan tranformator fly back kita bisa mendapatkan alat yang fungsinya sama tetapi dengan biaya kurang dari 500.000 rupiah.


Yang tidak dapat dihindari dan harus kita beli adalah alat ukur (karakterisasi) karena peralatan tersebut memiliki standar keilmiahan tertentu dan beberapa komponen sulit kita dapatkan dan tidak memiliki alternatif pengganti. Tinggal kita pilah-pilah. Mana yang dapat kita buat sendiri dan mana yang harus kita beli. Kalau semuanya harus kita beli maka biaya riset menjadi sangat mahal. Sebaliknya, kalau kita kreatif dan inovatif maka biaya riset bisa menjadi sangat murah.


Dalam Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik, FMIPA, kami banyak mengembangkan peralatan eksperimen secara mandiri, termasuk peralatan canggih untuk deposisi divais semikonduktor dan peralatan instrumentasi dengan presisi tinggi yang menyamai buatan Hewlett-Packard [16-18]. Gambar 12 adalah contoh peralatan eksperimen yang dibangun secara mandiri tersebut.

Apakah hasil riset dengan peralatan yang dibuat sendiri dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Saya akan tegaskan dapat, selama kaidah-kaidah ilmiah tetap dijalankan. Kami telah menghasilkan sejumlah makalah di jurnal internasional [19-21] dan puluhan makalah di jurnal nasional, seminar nasional dan internasional dari hasil riset dengan peralatan yang dikembangkan sendiri tersebut, suatu bukti bahwa secara ilmiah alat-alat tersebut dapat dipertanggungjawabkan.


5. Yang Biasa dan Yang Luar Biasa

“Bisa mengulang sesuatu yang pernah dilakukan orang, itu biasa. Tetapi bisa melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang, itu baru luar biasa”. Ini adalah filosofi para pelopor. Saya selalu berusaha melakukan sesuatu yang baru, seberapa kecil pun itu. Sebagai contoh, saat ini kami (dalam tim) sedang berusaha mengembangkan teknologi penjernihan air limbah dengan kosep zero energy dan berbasis nanomaterial. Metode yang kami kembangkan belum pernah dilakukan siapa pun di seluruh dunia, khususnya dari segi material.

Teknologi pengolahan air limbah yang umum digunakan saat ini, yaitu IPAL (instalasi pengolahan air limbah) memerlukan biaya besar dari segi instalasi dan pemeliharaan. Kami memikirkan alternatif lain, yaitu memanfaatkan reaksi fotokatalitik pada permukaan partikel semikonduktor atas bantuan sinar matahari. Semikonduktor seperti titanium dioksida (TiO2) sangat mudah menghasilkan pasangan elektron dan hole pada pita konduksi dan valensinya ketika disinari dengan ultraviolet. Elektron dan hole tersebut berperan menghasilkan radikal bebas dalam air, yang selanjutnya mendekomposisi polutan organik dalam air menjadi gas atau senyawa lain yang tidak beracun (Gbr. 13).


Ada dua masalah yang masih dihadapi para peneliti tentang metode ini. Yang pertama adalah celah pita energi (energy band gap) titanium dioksida cukup lebar, yaitu sekitar 3,2 elektronvolt. Celah pita energi adalah jangkauan energi yang tidak boleh dimiliki elektron dalam material. Celah pita energi memisahkan pita valensi dan pita konduksi dalam material tersebut. Celah pita energi yang lebar berimplikasi pada jenis cahaya yang dapat digunakan untuk menghasilkan elektron dan hole. Hanya sinar ultraviolet yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Ini berarti proses penjernihan air menuntut penyinaran ultraviolet secara terus menerus di permukaan air, dan ini memakan cukup banyak energi listrik. Penggunaan cahaya matahari sebagai pembangkit pasangan elektron dan hole juga tidak efektif karena kandungan ultraviolet dalam cahaya matahari hanya sekitar 10%.

Ada beberapa usaha yang dilakukan para peneliti agar dapat menggunakan cahaya matahari sebagai penghasil elektron dan hole dalam titanium dioksida. Salah satu yang dipilih adalah mengotori (doping) titanium dioksida dengan atom dari unsur lain [22]. Pendekatanan ini dapat sedikit memperkecil lebar celah pita energi, tetapi tetap tidak signifikan sehingga masih banyak energi cahaya matahari yang tidak terpakai.

Masalah kedua adalah penyebaran bubuk titanium dioksida secara langsung ke air limbah dapat menghasilkan masalah baru. Misalkan proses dekomposisi telah selesai dan air limbah sudah bebas dari polutan organik, kita berhadapan dengan polutan lain,yaitu partikel titanium dioksida. Sebaiknya, setelah digunakan, partikel titanium dioksida dapat diambil kembali dari air yang sudah dibebaskan dari polutan organik.

Salah satu pendekatan yang dilakukan para ilmuwan untuk mengatasi masalah ini adalah menempelkan partikel titanium dioksida pada partikel-partikel magnetik yang lebih besar [23]. Bentuknya mirip dengan onde-onde. Partikel titanium dioksida sebagai wijen dan bola ketan sebagai partikel magnetik. Setelah proses dekomposisi selesai dilakukan, partikel serupa onde-onde tersebut ditarik dengan elektromagnet sehingga dapat dikeluarkan dari air. Prinsipnya sama dengan menarik logam dari tumpukan sampah menggunakan elektromagnet. Namun, pendekatan ini pun tetap menghadapi sejumlah kendala. Kendala pertama adalah tidak mudah menempelkan partikel titanium dioksida pada partikel magnetik. Kedua, penggunaan elektromagnet tidak akan membersihkan air secara utuh dari pengotor titanium dioksida.

5.1. Nanopartikel Titanium Dioksida ‘Kotor’
Tim kami (saya, Dr. Khairurrijal dari KK Fismatel-FMIPA, dan Hernawan Mahfudz, M.T. dari KK Sumber Daya Air-FTSL) memikirkan teknologi alternatif untuk kebutuhan tersebut. Solusi yang kami pikirkan cukup sederhana seperti dijelaskan berikut ini.

Para ahli mengotori titanium dioksida dengan harapan untuk memperkecil lebar celah pita energi. Mereka mulai dengan membuat titanium dioksida murni, lalu menembak titanium dioksida murni tersebut dengan berkas energi tinggi dari atom unsur lain sehingga masuk ke dalam titanium dioksida dan menggantikan beberapa atom titanium [22]. Pemikiran kami sederhana saja. Mengapa harus melakukan cara yang rumit seperti itu? Kalau menginginkan titanium dioksida yang mengandung atom-atom unsur lain, kenapa tidak menggunakan saja titanium dioksida kualitas rendah yang ada di pasaran? Titanium dioksida kualitas rendah tentulah titanium dioksida yang mengandung beberapa atom pengotor, dan siapa tahu atom-atom pengotor tersebut berperan mengubah lebar celah pita energi.

Berdasarkan pemikiran sederhana ini kami membeli beberapa macam titanium dioksida tidak murni di pasaran. Untuk mengecek adanya celah pita benergi yang bermacam-macam, kami amati spektrum serapan dari gelombang ultraviolet hingga cahaya tampak (UV-Vis) oleh material tersebut, dan benar kami memperoleh apa yang kami inginkan. Kami berhasil mendapatkan titanium dioksida yang sanggup menyerap semua spektrum pada cahaya matahari [24]. Dan karena titanium dioksida yang dibeli adalah yang berkualitas rendah, tentu saja harganya sangat murah. Jadi persoalan pertama telah kami pecahkan.

5.2. Coating Nanopartikel Titanium Dioksida pada Partikel Plastik
Persoalan kedua kami pecahkan sebagai berikut. Kami tidak menempelkan titanium dioksida pada partikel magnetik, tetapi kami tempelkan pada partikel-partikel plastik transparan yang bersifat thermoplast (Gbr. 14). Ukuran partikel plastik tersebut beberapa milimeter. Thermoplast artinya ketika dipanaskan, plastik tersebut melunak dan meleleh, tetapi ketika didinginkan, plastik tersebut kembali ke fase semula. Contoh plastik jenis ini adalah PET (polyethylene terephtalate) yang digunakan pada botol air minum dalam kemasan.

Plastik yang ditempeli titanium dioksida ditebar di sekitar permukaan air di mana di bawahnya dipasang semacam kasa (jaring) yang ukuran lubangnya lebih kecil dari ukuran partikel polimer. Kami menggunakan plastik yang transparan agar cahaya yang tidak terpakai oleh titanium dioksida pada lapisan air sebelah atas dapat tembus hingga titanium dioksida pada lapisan air sebelah bawahnya. Setelah proses dekomposisi selesai dilakukan, kita tinggal mengangkat kain kasa tersebut untuk mengambil material plastik yang ditempeli titanium dioksida yang tersebar di sekitar permukaan air.


Untuk menempelkan titanium dioksida pada plastik, kami rancang alat sendiri. Metode pelapisan tersebut telah kita daftarkan hak patentnya [25]. Prinsipnya sangat sederhana, yaitu menggunakan cylinder milling. Partikel plastik dengan bubuk titanium dioksida dimasukkan ke dalam peralatan cylinder milling dan dipanaskan hingga mendekati titik leleh plastik. Pada suhu tersebut, plastik mulai melunak. Cylinder milling dijalankan. Tumbukan oleh batang silinder yang jatuh di dalam tabung milling menekan partikel titanium dioksida sehingga menancap kuat pada permukaan plastik yang sudah agak lunak. Proses berlangsung beberapa menit hingga permukaan plastik benar-benar tertutup sempurna oleh partikel titanium dioksida.



Pendekatan lain yang kami lakukan adalah menempelkan titanium dioksida pada fiber plastik menggunakan lem [26,27]. Prinsip kerja tampak pada Gbr 16. Fiber plastik yang kami gunakan adalah semacam fiber kail pancing. Fiber dilewatkan melalui lem (polyurethane) lalu dilewatkan pada bubuk titanium dioksida disertai pemberian tekanan yang cukup agar partikel titanium dioksida menempel sempurna pada fiber. Setelah sedikit dilakukan pemanasan maka diperoleh fiber yang ditempeli partikel titanium dioksida. Setelah proses dekomposisi polutan organik dalam air selesai dilaksanakan maka kami dengan mudah mengeluarkan fiber tersebut dari air.


Gambar 17(a) adalah contoh hasil dekomposisi larutan wantex (pewarna tekstil) melalui proses fotokatalitik menggunakan fiber yang dilapisi nanopartikel TiO2 [26,27]. Dekomposisi dilakukan di bawah sinar matahari. Gambar 17(b) adalah hasil dekomposisi fotokatalitik limbah pabrik yang diambil dari tempat pengolahan limbah di wilayah Muh. Toha, Bandung menggunakan nanopartikel TiO2 di bawah penyinaran matahari [27,28]. Limbah akan terdekomposisi sempurna jika penjemuran dilakukan dalam waktu cukup lama, yaitu sekitar seminggu.

Riset ini memiliki dampak aplikasi yang luar biasa. Jika berhasil maka kita dapat menjernihkan air sungai, danau, kolam-kolam yang ada di seantero negeri bahkan di seluruh dunia dari limbah organik dengan cara yang sangat murah dan sederhana. Tidak ada energi yang dibutuhkan kecuali energi matahari. Kita hanya menebar material fotokatalis di sekitar permukaan air polusi. Di bawah radiasi matahari, maka dalam beberapa hari air menjadi terbebas dari polutan organik. Ini adalah mimpi besar yang ingin kami realisasikan. Bahkan riset yang sedang kami jalankan ini bersifat self funding.

6. Nanosains untuk Teknologi Tradisional

Riset dalam bidang sains dan teknologi saat ini sudah pada tahap yang sangat maju. Peralatan baru dan teknologi baru memicu munculnya cabang-cabang baru dalam sains. Sebaliknya penemuan-penemuan baru di bidang sains memicu lahirnya teknologi baru. Seolah-seolah sains modern hanya berkorelasi erat dengan teknologi modern.

Pada saat bersamaan teknologi tradisonal masih dilakoni oleh sebagian masyarakat, termasuk masyarakat di tanah air. Namun, realitas yang terjadi adalah teknologi tersebut makin tergusur, dan lama-kelamaan cenderung makin menghilang. Masuknya barang-barang sejenis dari luar negeri dengan kualitas lebih baik dan harga lebih bersaing semakin meminggirkan teknologi tradisional.

Penyebab utama tergusurnya teknologi tradional tersebut adalah tidak pernah munculnya sentuhan sains pada kegiatan produksi dalam teknologi tradisional. Mereka berkutat dengan proses-proses produksi kuno yang sudah tidak relevan untuk dipertahankan. Tetapi di lain pihak, para pelaku teknologi tradisional tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang sains modern untuk diaplikasikan dalam teknologi mereka.

Sebagai satu gambaran adalah sentra keramik di Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Lokasi ini jaraknya sekitar 50 km dari ITB, tetapi hampir tidak tersentuh oleh aktivitas perguruan tinggi ini. ITB dan beberapa perguruan tinggi lain lebih banyak fokus pada kajian sains dan teknologi canggih, tetapi masih kurang perhatian pada teknologi tradisonal yang banyak di antaranya sedang sekarat.

Melalui Hibah Kompetensi yang dibiayai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kami mencoba masuk ke wilayah yang kurang diperhatikan ini. Prinsip yang kami bawa adalah menerapkan sains modern pada teknologi tradisional untuk meningkatkan daya saing produk teknologi tradisional tersebut. Kami fokuskan pada teknologi keramik karena banyak penduduk menggantungkan hidup pada kegiatan tersebut dan lokasi tidak terlampau jauh dari ITB. Di Plered ada sekitar 3000 KK yang menggantungkan hidup pada teknologi keramik tradisional. Di daerah lain di seantero Nusantara tidak terhitung banyaknya jiwa-jiwa yang hidupnya bergantung pada teknologi serupa.

Kami mencoba menganalisis sejumlah persoalan yang ada di sentra keramik. Kami identifikasi beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing adalah mereduksi waktu pembakaran keramik. Saat ini, lama waktu pembakaran keramik sekitar 30 jam. Persoalan kedua adalah menurunkan suhu pembakaran keramik. Suhu pembakaran keramik saat ini sekitar 1.200 oC untuk porselin dan sekitar 900 oC untuk keramik biasa. Tujuan riset yang kami lakukan adalah bagaimana mereduksi waktu pembakaran keramik, kalau bisa kurang dari 10 jam dan bagaimana menurunkan suhu pembakaran tanpa mengurangi kualitas keramik, tetapi kalau bisa kualitas yang diperoleh lebih baik. Jika dua usaha tersebut berhasil maka akan terjadi penghematan luar biasa dalam penggunaan energi. Biaya energi merupakan salah satu komponen biaya terbesar dalam produksi keramik. Ini adalah tantangan besar.


Bagaimana merealisasikan dua tujuan tersebut? Jawaban kami adalah nanosains. Tanah liat sebenarnya adalah partikel-partikel clay dengan ukuran beberapa puluh mikrometer. Ketika dilakukan pembakaran maka partikel-partikel yang bersentuhan menyatu dengan kuat melalui pembentukan leher pada titik kontak antar partikel. Makin lama waktu pembakaran maka ukuran leher makin besar sehingga keramik makin kuat (Gbr. 18). Pembakaran selama 30 jam adalah waktu yang dibutuhkan agar leher yang terbentuk cukup besar dan berikatan cukup kuat.

Dari sejumlah hasil riset yang dilakukan para peneliti disimpulkan bahwa jika ukuran partikel direduksi dalam orde nanometer maka laju sintering (laju pemadatan partikel ketika dipanaskan) makin cepat [1]. Nah, apabila kita menggunakan partikel clay dalam ukuran nanometer untuk membuat keramik maka diharapkan laju pembentukan leher pada lokasi kontak antar partikel makin cepat sehingga tidak perlu menunggu waktu lama untuk membakar keramik. Juga dari hasil riset para peneliti sebelumnya disimpulkan bahwa jika ukuran partikel dalam orde nanometer maka suhu sintering juga menurun. Menurunnya suhu sintering berarti menurunnya suhu yang diperlukan untuk mengubah keramik menjadi padat dan kuat. Dengan demikian suhu pembakaran keramik pun dapat diturunkan.

Tampak di sini bahwa dengan menggunakan partikel clay berukuran kecil maka keramik dapat dibakar lebih cepat dan dapat dibakar pada suhu lebih rendah. Namun, hasil di lapangan agak berbeda. Dari pengrajin keramik kita dapatkan informasi bahwa keramik yang dibuat dengan partikel clay berukuran kecil tidak terlalu kuat. Keramik yang kuat dapat diperoleh dari clay yang berukuran partikel besar. Lalu bagaimana memecahkan masalah ini?

Kami memikirkan kemiripan kasus ini dengan konstruksi beton. Kalau kita buat beton hanya menggunakan pasir dan semen maka beton yang dihasilkan tidak kuat. Sebaliknya kalau kita membuat beton mengunakan kerikil dan semen saja, maka beton juga tidak kuat. Beton baru kuat jika kita menggunakan pasir dan kerikil secara bersamaan dalam beton. Dari sifat ini kami menduga bahwa keramik yang kuat mungkin dapat diperoleh dengan mencapur partikel clay yang memiliki dua ukuran: ukuran besar (beberapa puluh mikrometer) dan ukuran kecil (puluhan nanometer). Partikel clay ukuran mikrometer analog dengan kerikil dan partikel clay ukuran nanometer analog dengan pasir. Bagaimana proses munculnya kekuatan tersebut dapat diilustrasikan pada Gbr. 19.

Kami misalkan clay partikel memiliki bentuk bulat. Jika kami susun partikel-partikel dengan cara apa pun maka selalu terdapat ruang kosong antar partikel. Ketika dilakukan pembakaran maka pada titik kontak antar partikel muncul leher, tetapi ruang kosong tetap ada. Untuk mendapatkan keramik yang kuat maka ukuran leher harus cukup besar, dan ini dapat dicapai dengan pembakaran yang cukup lama.


Dengan mencampur partikel clay berukuran besar dan kecil, diharapkan partikel clay yang berukuran kecil mengisi ruang kosong antar partikel clay berukuran besar. Partikel clay yang berukuran besar tidak hanya melakukan kontak dengan partikel besar lainnya tetapi juga dengan partikel kecil. Jika dilakukan pembakaran maka leher tidak hanya terbentuk antar partikel besar, tetapi juga antara partikel besar dan partikel kecil. Dengan demikian, tidak perlu menunggu leher cukup besar untuk mendapatkan keramik yang kuat karena adanya tambahan leher dari hasil kontak dengan partikel kecil. Ini berarti kami tidak perlu membakar keramik dalam waktu cukup lama untuk mendapatkan kekuatan yang cukup. Dengan kata lain kami dapat mereduksi waktu pembakaran, dan mungkin juga suhu pembakaran.

Hipotesis ini telah kami uji dengan mencampur clay dengan partikel karbon ukuran nanometer [29]. Hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Dengan menambahkan partikel karbon sekitar 2% berat maka kita mendapatkan keramik dengan kekuatan sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan keramik yang dibuat tanpa penambahan partikel karbon. Namun jika massa partikel karbon yang ditambahkan terlampau banyak maka keramik menjadi lebih rapuh. Penyebabnya adalah ikatan antar karbon yang lemah dan penambahan karbon yang terlampau banyak hanya menghasilkan kontak antar karbon dan clay.

Apa yang sedang kami lakukan sekarang adalah membuat clay dengan dua ukuran. Partikel clay ukuran kecil dibuat dengan proses ball milling dan dicampur dengan partikel clay awal (tanpa penggilingan). Riset ini sekarang sedang dalam pengerjaan.

Dari hasil riset ini kami mengharapkan akan mendapatkan metode baru dalam pembuatan keramik sehingga diperoleh keramik berkualitas tinggi dan harga bersaing. Metode ini nantinya akan disebarkan ke pengrajin keramik di seantero negeri agar mereka dapat kembali hidup layak. Kami percaya ini adalah kontribusi kecil yang dapat kami berikan pada masyarakat untuk mempertanggungjawabkan apa yang kami dapatkan dari mereka melalui dana riset dari pemerintah. Dan kami pun percaya bahwa kontribusi kecil ini memiliki makna yang luar biasa bagi pemberdayaan (empowerment) masyarakat.


7. Riset Nanosains yang Mudah, Murah, dan Aplikatif

Ketika riset nanosains mulai gencar dikembangka orang di seluruh dunia untuk membuat produk teknologi canggih seperti nanorobot, single electron device, quantum device, supersensitive detector, kami meminati aplikasi dalam teknologi-teknologi tradisional. Kami ingin menerapkan sains modern ini untuk menjernihkan air limbah, untuk meningkatkan kualitas keramik di sentra keramik tradisional, mengubah sampah menjadi barang berharga seperti bahan untuk mebel dan papan tahan api, mengembangkan bahan pelapis dinding dan lantai yang dapat membunuh bakteri secara otomatis, membuat filter air yang dapat menjernihkan air sekaligus membunuh bakteri,mengembangkan bahan transparan anti peluru untuk kebutuhan pertahanan, dan lain-lain.

Saya bermimpi, riset yang kami lakukan, jika berhasil, akan menjawab sebagian permasalahan riil yang dihadapi bangsa dan dapat langsung diaplikasikan pada industri-industri dalam negeri. Saya tidak bermimpi muluk-muluk. Tidak terlalu penting bagi kami untuk mengerjakan topik riset yang sama dengan topik yang dikerjakan peneliti di negara-negara maju dengan mengatasnamakan riset frontier, karena kami pasti kalah bersaing. Lebih lanjut, topik riset yang dikerjakan peneliti negara maju sesuai dengan kebutuhan negara mereka yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan negara kita. Kita sudah tertatih-tatih mengikuti irama riset mereka, dan jika pun akhirnya berhasil, hasil tersebut tidak dapat langsung kita manfaatkan (karena belum tentu sesuai dengan kebutuhan bangsa). Bahkan yang mengambil manfaat mungkin negara maju itu juga.

Saya berpendapat harus cukup banyak peneliti yang melakukan riset semacam ini karena persoalan bangsa yang belum terpecahkan sangat banyak dan kebergantungan kita pada asing terlampau besar. Jika kita serius melakukan hal tersebut mungkin suatu saat kita tidak lagi mengekspor minyak bumi mentah dan mengimpor bahan bakar jadi, tetapi yang kita ekspor adalah bahan bakar jadi karena kita mempunyai kemampuan untuk mengolah minyak mentah. Mungkin suatu saat kita tidak hanya bisa mengekspor crude palm oil (CPO) dan mengimpor barang jadi produk CPO tersebut, tetapi kita langsung mengekspor barang jadi dari CPO yang kita olah. Mungkin suatu saat kita tidak lagi mengekspor bijih besi, tetapi yang kita ekspor adalah besi atau barang dari besi. Mungkin suatu saat kita tidak mengekspor pasir ke Singapura dan mengimpor mahal wafer silikon dan IC, tetapi kita mengekspor wafer dan IC itu sendiri. Mungkin di suatu saat kita tidak melihat lagi di supermarket berserakan buah-buahan impor meskipun tanah kita termasuk tanah yang paling subur di dunia, tetapi kita menjadi pengekspor buah-buahan ke seluruh dunia. Mungkin suatu saat kita tidak lagi mengimpor sekitar 60% kebutuhan garam dalam negeri walaupun pantai Indonesia termasuk terpanjang di dunia, tetapi kita mengekspor garam ke berbagai penjuru dunia. Mungkin suatu saat kita tidak perlu lagi membayar mahal konsultan asing yang kadang tidak jelas kualifikasinya, tetapi konsultan-konsultan Indonesia bertebaran di berbagai negara. Mungkin suatu saat kita bisa seperti Jepang di mana upah untuk tenaga kerja asing lebih rendah daripada upah untuk tenaga kerja Jepang untuk jenis pekerjaan yang sama.

8. Usia 20-an, Usia Keemasan

Untuk adik-adik mahasiswa baru, anda akan segera memasuki usia 20-an. Sejarah membuktikan bahwa prestasi-prestasi besar yang ditoreh seseorang terjadi pada usia 20-an. Ilmuwan-ilmuwan besar seperti Albert Einstein, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Paul Dirac, Richard Feynmann, Lev Landau, Sadi Carnot, Carl Gauss, dan lain-lain menghasilkan karya-karya besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dunia pada usia 20-an. Para atlet mencapai prestasi puncak pada usia 20-an. Microsoft, Apple, Google, Yahoo!, Friendster, Facebook, dan lain-lain diciptakan oleh pemuda-pemuda yang berusia 20-an.

Jadi manfaatkan usia 20-an anda untuk mencatat sejarah emas dalam hidup anda. Ingat, ini tidak akan berulang. Hanya satu kali kita lewati usia ini dalam hidup kita. Silakan anda putuskan. Apakah ingin menjadi manusia yang dikenang sepanjang masa karena prestasi gemilang yang ditoreh. Atau menjadi orang yang kehadirannya di bumi sama saja dengan tidak adanya.

Anda sangat beruntung karena telah memasuki salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Jutaan anak Indonesia seusia anda tidak seberuntung anda. Di sini anda dapat mengembangkan kemampuan anda dengan bebas sesuai dengan bidang ilmu dan teknologi yang anda minati. Manfaatkan sebaik-baiknya waktu anda di sini untuk menempa diri anda menjadi manusia yang utuh. Dan ketika anda telah menyelesaikan pendidikan di institut ini, anda siap memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa ini.

Walapun anda masuk ITB atas inisiatif anda sendiri, orang tua anda, atau keluarga anda, tetapi ingat, bangsa ini memiliki hak atas diri anda. Bangsa ini memiliki hak atas pengabdian anda. Anda adalah penentu masa depan bangsa ini. Dalam dua puluh hingga tiga puluh tahun mendatang sejarah hitam atau putih bangsa ini akan sangat bergantung pada orang-orang seusia anda.

Jadilah salah satu putra terbaik yang pernah dilahirkan bangsa ini!


9. Penutup


Sebagai penutup saya ingin tegaskan bahwa apapun keterbatasan yang kita hadapi dalam riset, belajar, atau hal-hal lain, kita selalu dapat mengatasinya dengan kreativitas dan inovasi. Kita jangan terlalu terpesona dengan fasilitas-fasilitas yang dimiliki institusi-institusi lain seperti yang ada di negara maju, lalu mengeluh, putus asa, dan menyalahkan sana-sini karena tidak memiliki fasilitas seperti itu. Mari kita bangkit dalam keterbasan-keterbatasan tersebut dengan memikirkan sejumlah alternatif. Kadang dengan cara ini kita menemukan jalan atau metode baru yang tidak terpikirkan oleh orang-orang sebelumnya.

Apabila para peneliti yang berada di lingkungan dengan fasilitas sangat lengkap (negara maju) dapat menghasilkan sejumlah produk riset, sebenarnya itu tidak luar biasa. Tetapi apabila di sini (dengan sejumlah keterbatasan) anda dapat menghasilkan sejumlah kecil saja produk riset, maka sebenarnya anda telah melakukan hal yang luar biasa.

Namun yang harus diingat adalah, kreativitas dan inovasi dalam riset bisa muncul jika kita menguasai basic science secara baik. Saya berhasil menemukan alternatif-alternatif dalam riset karena kemampuan basic science yang saya miliki. Kemampuan basic science memungkinkan kita berpikir secara bebas, menemukan jalan lain yang kadang tidak terpikirkan oleh orang-orang sebelumnya, dan kadang bisa jauh lebih sederhana dari apa yang dilakukan orang selama ini.

Bagi anda para mahasiswa baru yang masuk fakultas selain MIPA, tidak peduli apa pun fakultas anda atau jurusan yang akan anda pilih nanti, tolong kuasai basic science. Engineering tanpa basic science adalah keropos. Engineer tanpa kemampuan basic science yang cukup adalah engineer yang tidak paripurna dan akan dengan mudah “dikalahkan” oleh engineer dari negara-negara lain. Saya adalah staf dosen di FMIPA. Tetapi saya berani mengatakan demikian karena saya pernah belajar engineering dalam waktu yang cukup lama. Jangan sepelekan pelajaran fisika, kimia, matematika, dan bilogi. Karena anda akan menjadi engineer yang sangat tangguh jika memahami dengan baik bidang-bidang tersebut, minimal pada tingkat dasar.

10. Ucapan Terima Kasih

Puji syukur pertama-tama saya sampaikan kepada Allah SWT, Zat yang menggenggam diri saya dan mengendalikan semesta alam.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Rektor ITB, Prof. Dr. Djoko Santoso beserta seluruh pimpinan ITB yang telah memungkinkan saya berdiri di mimbar terhormat ini. Ini merupakan penghargan yang luar biasa yang saya dapatkan sebagai salah seorang dosen di ITB.

Terima kasih saya ucapkan kepada Dekan FMIPA-ITB (Dr. Akhmaloka) dan Wakil Dekan (Dr. Pudji Astuti dan Dr. Idam Arif), di mana atas jasa beliau pula saya telah dipilih oleh ITB untuk menyampaikan orasi pada tempat dan kesempatan yang luar biasa ini.

Saya menjadi seperti ini tentu tidak lepas dari peranan para guru dan senior saya di eks Departemen Fisika ITB di mana saya telah memperoleh ilmu yang tidak terbayangkan manfaatnya. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Prof. M. O. Tjia, Prof. M. Barmawi, Prof. P. Silaban, Prof. The Houw Liong, Prof. Lilik Hendradjaya, dan Prof. Freddy P. Zen.

Terima kasih kepada rekan-rekan di KK Fismatel FMIPA-ITB, Dr. Khairurrijal, Dr. Sukirno, Dr. Pepen Arifin, Dr. Toto Winata, Dr. Maman Budiman, Dr. Euis Sustini, dan Dr. Yudi Darma atas kebersamaan dalam memajukan KK Fisika Material Elektronik.

Kepada rekan-rekan dosen di FMIPA yang tidak henti-hentinya memberi support, Prof. Ismunandar, Dr. Zaki Su?ud, Dr. Satria Bijaksana, dan lain-lain, saya sampaikan terima kasih sebesar-besarnya.

Terima kasih pula pada rekan-rekan di Prodi Fisika, Dr. Umar Fauzi, Dr. Abdul Waris, dan lain-lain atas terciptanya lingkungan yang sangat kekeluargaan sehingga kita bisa bekerja dengan nyaman.

Untuk orang yang sangat berjasa dalam hidupku, H. Abdullah Hasan (alm) dan Hj. St. Habibah, semoga rahmat dan ampunan Allah selalu tercurah pada Ayahanda dan Ibunda berdua.

Terima kasih yang tulus ingin saya sampaikan kepada pendamping setia setiap saat, istri saya Sri Rumiyati dan anak-anak permata hati kami: Shafira Khairunnisa, Fathan Akbar, dan Ardi Khalifah. Papa bisa jadi seperti ini tidak lepas dari dukungan dan pengorbanan kalian semuanya.


11. Referensi

[1] Mikrajuddin Abdullah, “Pengantar Nanosains” (ISBN 978-979-1344-48-7), Bandung: Penerbit ITB (2009).

[2] http://www.nanocluster.mit.edu

[3] Mikrajuddin, F. G. Shi, and K. Okuyama, “Temperature Dependent Electrical Conduction in Porous Silicon: Non-Arrhenius Behavior”, Europhysics Letters 54, pp. 234-240 (2001).

[4] http:// www.iop.org/EJ/journal/-page=extra.10/0295-5075

[5] F. G. Shi, Mikrajuddin, S. Chungpaiboonpatana, K. Okuyama, C. Davidson, and J. M. Adams, “Electrical Conduction of Anisotropic Conductive Adhesives: Efect of Size Distribution of Conducting Filler Particles”, Materials Science in Semiconductor Processing 2, p. 263 (1999).

[6] http://www.scopus.com

[7] Mikrajuddin, F. G. Shi, H. K. Kim and K. Okuyama, “Size-Dependent Electrical Constriction Resistance for Contacts of Arbitrary size: from Sharvin to Holm Limits”, Materials Science in Semiconductor Processing 2, p. 321 (1999).

[8] Mikrajuddin, F. G. Shi, and K. Okuyama, “Electrical Conduction in Insulator Particle-Solid State Ionic and Conducting Particle-Insulator Matrix Composites”, Journal of the Electrochemical Society 147, pp. 3157-3165 (2000).

[9] Mikrajuddin, F. G. Shi, T. G. Nieh, and K. Okuyama, “Electrical Conduction in Solid Polymer Electrolytes: Temperature Dependence Mechanism”, Microelectronics Journal 31, pp. 261-265 (2000).

[10] Mikrajuddin Abdullah, “Electrical Conduction in Solid Polymer Electrolytes: A Formula for the Entire Range of Temperatures”, Indonesia Journal of Physics 13, pp. 222-228 (2002).

[11] Mikrajuddin Abdullah, “Percolation Model for Proton Immobility in Ice”, Proceedings ITB on Engineering Science 37 B, p. 67 (2005).

[12] Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal, “Gelation Model for Porosity Dependent Fluid Permeability in Porous Materials”, Jurnal Matematika dan Sains (in press, 2009).

[13] Mikrajuddin, F. G. Shi, S. Chungpaiboonpatana, K. Okuyama, C. Davidson, and J.
M. Adams, “Onset of Electrical Conduction in Isotropic Conductive Adhesives: a General Theory”, Materials Science in Semiconductor Processing 2, p. 309 (1999).

[14] Mikrajuddin Abdullah, Berita Penelitian ITB, Desember 2006

[15] W. Budiawan, A. S. Vioktalamo, M. Abdullah, dan Khairurrijal, Luminescence Nanopartikel Emisi Cahaya Tampak sebagai Tinta Pengaman, Jurnal Sains Materi Indonesia, Edisi Khusus Desember 2006, pp. 180-182 (2006).

[16] “Membangun Kemampuan Riset Nanomaterial di Indonesia”, Editor: Khairurrijal dan Mikrajuddin Abdullah (ISBN 978-602-95196-0-0), Bandung: Rezeki Putera (2009).

[17] Khairurrijal, Mikrajuddin Abdullah, Muhammad M. Munir, Asep Suhendi, and Arif Surachman, “Home-Made Electronic Components Characterization System for Electronic Course at Undergraduete Level”, WSEAS Transaction on Engineering Education 3, pp. 971-976 (2006).

[18] Khairurrijal, Mikrajuddin Abdullah, Asep Suhendi, Muhammad M. Munir, and Arif Surachman, “A Simple Microcontroller-based Current Electrometer Made from LOG112 and C8051F006 for Measuring Current in Metal-Oxide-Semiconductor Devices”, Measurement Science and Technology 18, pp. 3019-3024 (2007).

[19] Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, Abdul Waris, Widayani Sutrisno, Iis Nurhasanah, and Aunuddin S. Vioktalamo, “An Ultraviolet Phosphor from Submicrometer-sized Particles of Gadolonium-doped Yttrium Oxide Prepared by Heating of Precursors in a Polymer Solution”, Powder Technology 183, pp. 297-303 (2008).

[20] Astuti, Mikrajuddin Abdullah, and Khairurrijal, “Syntesis of Luminescent Ink from Europium-doped Y2O3 Dispersed in Polyvinyl Alcohol Solution”, Advances in Optoelectronics, Vol. 2009 (2009), article ID 9183951.

[21] Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, Fatimah A. Noor, Ahmad Rifqy Marully, and Muhammad Sanny, “Design of Steam Reforming Reactor for Converting Methanol into Hydrogen Using an Ultrasonic Nebulizer as Liquid Feeder and Polymer Liquid Processed CuO/ZnO/Al2O3 Particles as Catalyst”, Asian Journal of Energy and Environment (in press, 2009).

[22] S. I. Shah, W. Li, C. P. Huang, O. Jung, and C. Ni, “Study of Nd3+, Pd2+, Pt4+, and Fe3+ Dopant Effect of Photoreactivity of TiO2 Nanoparticles”, Proceedings of National Academic of Science 99, pp. 6482-6486 (2002).

[23] D. Beydoun, R. Amal, G. K.-C. Low, and S. McEvoy, “Titania-coated Magnetite . Activity and Photodissolution”, Journal of Physical Chemistry B 104, pp. 4387-4396 (2000).

[24] Indah Nurmawarti, Mikrajuddin Abdullah, dan Khairurrijal, “Distribusi Celah Pita Energi 'Titania Kotor'”, Jurnal Nanosains & Nanoteknologi, Edisi Khusus Agustus 2009, pp. 38-42 (2009).
[25] Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, Hernawan Mahfudz, dan Nur Dananjaya, Patent Pending, No. Reg. P00200900146, 13 Maret 2009.

[26] Haruno Subianto, Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, dan Hernawan Mahfudz, “Pelapisan Nanomaterial TiO2 Fasa Anatase pada Nilon Menggunakan Bahan Perekat Aica Aibon dan Aplikasinya Sebagai Fotokatalis”, Jurnal Nanosains & Nanoteknologi, Edisi Khusus Agustus 2009, pp. 50-52 (2009).

[27] Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, dan Hernawan Mahfudz, “Pendekatan Baru Penjernihan Air Limbah: Berbasis Nanomaterial dan Zero Energy”, Berita Penelitian ITB, Juli (2009).

[28] Osi Arutanti, Mikrajuddin Abdullah, Khairurrijal, dan Hernawan Mahfudz, “Penjernihan Air dari Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis pada Permikaan Titanium Dioksida (TiO2)”, Jurnal Nanosains & Nanoteknologi, Edisi Khusus Agustus 2009, pp. 53-55 (2009).

[29] Anggie D. Sonya, Bebeh W. Nuryadin, Ahmad R. Marully, Khairuddin, Mikrajuddin Abdullah, dan Khairurrijal, “Sintesis Keramik Berbasis Komposit Clay-Karbon dan Karakterisasi Kekuatan Mekaniknya”, Jurnal Nanosains & Nanoteknologi 2, pp. 83-89 (2009).

sumber:
file pidato ini diberi oleh Bpk.Dr.Eng. Khairurrijal
file pdf dapat didownload di web fmipa